Muhammadiyah adalah suatu persyarikatan yang merupakan "Gerakan Islam". Maksud gerakannya ialah "da'wah Islam dan amar ma'ruf nahi munkar", yang ditujukan kepada: perseorangan dan masyarakat. Da'wah dan amar ma'ruf nahi munkar, pertama terbagi pada dua golongan, yakni:
- kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran-ajaran yang asli-murni.
- kepada yang belum Islam merupakan seruan dan ajakan untuk memeluk ajaran Islam.
Adapun da'wah Islam dan amar ma'ruf nahi munkar bidang kedua adalah kepada masyarakat, bersifat bimbingan, ajakan,dan peringatan. Kesemuanya itu dilaksanakan bersama dengan musyawarah atas dasar taqwa dan mengharap keridlaan Allah semata-mata. Dengan melaksanakan da'wah Islam amar ma'ruf nahi munkar dengan caranya masing-masing yang sesuai, Muhammaddiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuannya, ialah "Mewujudkan masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu Wata'ala".
Pengertian di atas adalah sedikit dari reorientasi kita dalam berjuang dan menegakkan Agama Islam melalui Muhammadiyah,. Dalam usianya satu abad tentu Muhammadiyah tidak lagi dikatakan muda akan tetapi lebih dari sekedar muda dalam bergerak, sebagai organisasi sosial keagamaan besar di Indonesia hingga sekarang tetap menunjukkan eksistensinya dalam membimbing dan merawat jamaahnya. Banyak peran yang telah dilakukan, baik di bidang sosial-keagamaan, pendidikan maupun ekonomi. Seiring dengan usianya yang hampir seabad ini, tentu Muhammadiyah dituntut untuk tetap mampu menghadapi tantangan yang semakin kompleks seiring pula dengan perkembangan zaman dan tuntutan global dan multikultural saat ini. Sebagai organisasi yang selalu mengedepankan jargon pembaruan (tajdid), Muhammadiyah mesti memperluas horizon tajdidnya, terutama dalam bidang pendidikan.
Dalam era multikultural, semua organisasi sosial-keagamaan tidak bisa lepas dari bidang garap yang terkait dengan kelompok-kelompok interest-group seperti petani, buruh, nelayan, dan sebagainya. Nah, bagaimanakah Muhammadiyah menghadapi persoalan itu? Bagaimana watak Muhammadiyah yang puritan, elitis, dan antitradisi? Mampukah Muhammadiyah hidup berdampingan dengan tradisi dan budaya masyarakat multikultural? Haruskah Muhammadiyah bertahan dengan watak aslinya, atau bersedia melakukan adaptasi dan akomodasi dengan tuntutan budaya yang ada?
Dalam era multikultural, semua organisasi sosial-keagamaan tidak bisa lepas dari bidang garap yang terkait dengan kelompok-kelompok interest-group seperti petani, buruh, nelayan, dan sebagainya. Nah, bagaimanakah Muhammadiyah menghadapi persoalan itu? Bagaimana watak Muhammadiyah yang puritan, elitis, dan antitradisi? Mampukah Muhammadiyah hidup berdampingan dengan tradisi dan budaya masyarakat multikultural? Haruskah Muhammadiyah bertahan dengan watak aslinya, atau bersedia melakukan adaptasi dan akomodasi dengan tuntutan budaya yang ada?
Secara ideologis, Muhammadiyah mengklaim diri sebagai organisasi sosial keagamaan yang puritan dan anti-TBC (takhayul, bidah, dan khurafat). Konsekuensi dari itu, Muhammadiyah tidak bisa tidak, harus tegas melawan budaya yang mengakar dalam masyarakat, terutama di Jawa. Selama ini gerakan yang dilakukan Muhammadiyah masih berkutat pada persoalan di atas. Kalaupun ada pembaruan, belum memiliki arti yang substantif (M. Zainuddin, Jawa Pos 25/06/2010 ).
Banyak hal yang dihadapi oleh Muhammadiyah dalam melaksanakan apa yang telah menjadi cita-citanya, khususnya dalam suatu masyarakat tertentu yang memiliki dan masih melaksanakan tradisi dan budaya. Risiko organisasi sosial-keagamaan Muhammadiyah yang antitradisi tersebut memang tidak kecil. Sebab, tradisi dan budaya dalam suatu masyarakat memiliki akar yang luar biasa kuatnya. Oleh karena itu, untuk mengubah itu perlu waktu dan pendekatan yang akomodatif dan toleran. Tidak sekadar Muhammadiyah harus mengikuti tradisi tahlilan, istighatsah, dan rukyah seperti yang diusulkan oleh Syafik Mughni (Jawa Pos, 25/05/2005).. Muhammadiyah sudah saatnya untuk terus melakukan evaluasi dan reorientasi dalam melakukan dan melaksanakan berbagai dakwanya baik dalam bidang social, ekonomi, dan pendidikan. Sebab, bagaimanapun, kondisi objektif masyarakat dan konteks sosial harus dilihat secara cermat untuk melakukan dakwah ke depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar