Dakwah Kultural
Untuk membangun kehidupan sosial yang lebih baik, Muhammadiyah dan Aisyiyah telah mempunyai amal usaha yang tersebar di masyarakat dalam berbagai bidang, di antaranya pendidikan, kesehatan, sosial dan keagamaan. Untuk meningkatkan kualitas usaha tersebut, telah dimiliki pula konsep dakwah jamaah dan dakwah kultural, yang menggunakan wawasan dan bentuk budaya sebagai media dakwah.
Dari tema Muktamar Aisyiyah Ke-45 nanti, secara eksplisit disebutkan bahwa pembangunan masyarakat yang akan dituju adalah terbentuknya masyarakat madani. Hal ini sinkron dengan pencerahan peradaban yang akan dilakukan Muhammadiyah, karena dalam konsep masyarakat madani mempunyai karakteristik yang memberikan penghargaan dan perlindungan terhadap hak-hak individu, pluralisme, dan transparansi. Kesemuanya itu merupakan unsur-unsur dari sebuah peradaban yang luhur.
Untuk mewujudkan masyarakat madani, tentu bukan pekerjaan yang ringan, karena di era globalisasi ini terjadi gesekan dan tarik ulur antara nilai agama dengan budaya, sebagai dampak negatif dari kemajuan informasi dan komunikasi,yang sulit dibendung.
Di samping faktor eksternal, dari sisi internal, tampaknya perlu ada pembenahan agar tercipta pemahaman terhadap pemikiran, langkah dan gerak untuk mewujudkan tujuan persyarikatan.
Muhammadiyah dengan konsep dakwah jamaah dan dakwah kulturalnya, sesungguhnya telah mempunyai alat untuk membangun masyarakat madani di Indonesia . Sayangnya, konsep itu masih terhenti pada tataran teoritis, karena adanya polemik internal yang berkisar pada "status budaya lokal itu termasuk dalam kategori TBK (takhayul, bid'ah, dan khurafat) atau tidak. Hal semacam ini menimbulkan kegamangan pada sebagian anggota persyarikatan atau organisasi otonomnya, untuk melakukan dakwah kultural,yang menggunakan media budaya lokal untuk membumikan ajaran Islam.
Perbedaan paradigma kebudayaan yang masih menimbulkan kontroversi semacam ini, perlu dicari titik temunya,sehingga konsep dakwah kultural dapat dipahami dan direalisir. Untuk itu, fungsi ijtihad sangat signifikan untuk menjawab persoalan kontemporer yang muncul di masyarakat, sehingga ruh ijtihad yang menjadi sumber pembaharuan tidak akan redup,dan berdampak pada tumbuhnya dinamika dalam menyikapi isu-isu global.
Secara riil, tampaknya telah banyak warga Muhammadiyah yang secara individu melaksanakan ijtihad dalam berbagai persoalan kontemporer. Namun sering dilanda keraguan, karena menunggu petunjuk atau keputusan organisasi, sehingga terjadi keterlambatan dalam menyikapi persoalan baru yang bergulir begitu cepat di era global ini.
Budaya memiliki sifat dinamis, dan selalu mengalami perubahan. Karena itu, Islam memberikan prinsip kebebasan dan selektivitas dalam menghadapi produk budaya. Dari mana pun datangnya budaya itu, boleh diterima asal tidak bertentangan dengan asas teologi kebudayaan Islam (tauhid) dan asas kemanfaatan budaya (rahmatan li al-'alamin).
Ulama fikih telah memberikan pula perangkat metodologisnya melalui konsep 'urf yang mengakui adat dan budaya setempat sebagai bagian dari hukum Islam (al 'adah muhakkamah ). Apabila merujuk pada sejarah masa Rasulullah, maka ditemukan pula pengakuan terhadap eksistensi tradisi atau adat kesukuan / budaya lokal, sebagaimana tersirat dalam Piagam Madinah, pasal 2-10. Kiranya hal ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mencari jawaban dari persoalan budaya yang selalu berubah, dan membutuhkan langkah cepat dan tepat untuk mengantisipasinya, sehingga Muhammadiyah dan Aisyiyah akan lebih berperan dalam ikut menyelesaikan persoalan budaya, yang menghambat terwujudnya masyarakat madani di Indonesia.